Monday, July 4, 2016

Ramadan Down Under – Epilog

AHAD, 19 JULI 2015 (2 SYAWAL 1436)
Cerita ke-17 dalam seri Ramadan Down Under

Setelah sukses membuka Ramadan dengan acara bukber bagi Angklungers, Nadiya dengan penuh semangat mengundang kami para Angklungers untuk sebuah acara open house alias silaturahim pascalebaran di apartemennya di Durham Street.  Bersama rekan satu unitnya, Fety dan Cendi, Nadiya memasak aneka hidangan istimewa khas lebaran.  Ternyata yang hadir bukan cuma Angklungers tapi juga banyak teman lain turut merasakan sedapnya hidangan Dapur Durham.  Hanna yang baru berumur dua bulan ikut diboyong oleh Adi dan Dini dengan kereta bayi, menjadi sasaran cubitan dan gendongan semua orang.

Begitulah, hari raya menyatukan kita semua, yang dulu tidak kenal menjadi kenal.  Bertemu di negeri orang langsung menjadi teman, sahabat, dan saudara.

Selamat hari raya Idul Fitri.
Taqabbalallahu minna wa minkum. 
Salam hangat dari Brisbane.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih atas bantuan dan inspirasi semua teman dan saudara-saudariku yang tergabung dalam MSAUQ, IISB, IMCQ, UQISA, UQ Angklungers, UQ GantiNamo 2015, dan Nyampah Disini.

Sampai berjumpa di lain cerita.

TAMAT.

Sunday, July 3, 2016

Mengejar shalat id

SABTU, 18 JULI 2015 (1 SYAWAL 1436)
Cerita ke-16 dalam seri Ramadan Down Under

Muslim Students Association in the University of Queensland (MSAUQ) berencana menggelar shalat id di Connell Building tempat aku ujian SHRM dulu di malam pertama Ramadan.  Kami tak mendapat izin menggunakan tanah lapang dengan alasan keamanan walaupun di tempat lain ada beberapa komunitas muslim mendapatkan izin untuk shalat di tempat terbuka.  Sepertinya pertimbangan keamanan menjadi alasan setelah ada indikasi gerakan sekelompok orang yang menamakan diri “Reclaim Australia”. Kelompok itu menjadi kontroversial lantaran mengusung rasisme, bigotry, dan islamofobia.

Pagi hari 1 Syawal 1436 H, aku dan Faiq sudah bangun cukup pagi namun ternyata bus yang kami incar sudah lewat.  Jangankan ke lokasi shalat id di Oxley Creek yang digelar IISB, yang di UQ saja kami ketinggalan.  Kalau saja berhasil mencegat bus nomor 428 yang lewat halte Indooroopilly Elementary School pukul 6.27, kami bisa tiba jam 6.48 di kampus UQ.  Tapi karena terlambat tiba dua menit di halte, kabur sudah busnya.  Mau nyambung dua kali via Toowong pun sudah terlambat.  Sedih rasanya melihat postingan foto teman-teman tentang suasana shalat id di Connell Building dan Oxley Creek, apalagi pake acara makan sate segala :(

Enak banget, pada makan sate di Oxley Creek, Rocklea.

“Yaudah kita makan ketupat aja, Iq. Ni gua bikin sama sayurnya.”

Hari itu tak ada daging atau opor di kos kami.

“Besok Nadiya open house di rumahnya Durham Street.  Mau ikut nggak?”

Nadiya manajer angklung itu akan masak banyak untuk teman-teman yang esok datang bersilaturahim.  Ia dibantu oleh Fety dan Cendi yang tinggal di apartemen yang sama.

“Nggak, Kasur.  Gua ada kerjaan.”

BERSAMBUNG ke Cerita ke-17 Epilog
dalam seri Ramadan Down Under

Saturday, July 2, 2016

Sate kambing dan ketupat instan

KAMIS, 16 JULI 2015 (29 RAMADAN 1436).  SATE KAMBING ROCKLEA.
Cerita ke-15 dalam seri Ramadan Down Under

Masyarakat muslim Indonesia di Queensland mempunyai cita-cita mendirikan masjid demi menyemarakkan kehidupan beragama di negara bagian yang terletak belahan timur laut Australia ini.  Indonesian Muslim Community in Queensland (IMCQ) sempat membeli sebidang tanah dan bangunan di wilayah Rocklea, dekat Brisbane Market.  Mulanya dimaksudkan untuk masjid namun ternyata daerah itu tidak diperuntukkan bagi rumah ibadah melainkan untuk pergudangan namun boleh digunakan untuk pertemuan komunitas.

Alternatif selain membangun mesjid baru adalah membeli rumah ibadah tua yang sudah tidak dipakai, untuk kemudian dikonversi menjadi masjid.  Hal seperti itu diperkenankan oleh hukum setempat.

Hari Kamis penghujung Ramadan itu Rasyid mengajakku ke Rocklea untuk membantu Pak Hendri, sesepuh IMCQ, menyiapkan sate untuk konsumsi shalat id nanti.  Taruna dan beberapa brothers turut bergabung.

Kami mulai memotong daging kambing dan ayam yang dipasok oleh salah satu halal butcher.  Dagingnya bersih dan segar.

“Motongnya gede-gede, jangan kecil-kecil. Ini Australia, porsi makanannya gede-gede walaupun yang makan orang-orang kita juga.  Biar kenyang dan senang semua orang.”

Haha, bener juga.  Sate ini nanti harus menyenangkan para jamaah.  Stoknya pun kali lihat cukup untuk mengenyangkan sekitar 300 orang.  Kami sampai berganti sarung tangan plastik berkali-kali.

“Kalau lebarannya besok, maka besok pagi-pagi sate-sate ini harus sudah siap.  Tinggal dibakar setelah shalat ‘id. Mas Hary, sudah ada kabar dari Kuraby?”

Kuraby adalah nama sebuah tempat yang banyak dihuni oleh komunitas muslim terutama Timur Tengah.  Sepertinya para pemuka agama di sana menjadi acuan untuk hal-hal krusial seperti penentuan awal Ramadan dan Syawal.

Mas Hary yang juga seorang permanent resident (PR) seperti Pak Hendri membuka ponsel dan membaca pesan, “Hilal tidak terlihat.  Lebaran disepakati lusa, hari Sabtu.”

Menurut ketentuan, apabila hilal (bulan sabit yang menandakan terbitnya bulan baru) tidak terlihat (pada pengamatan saat terbenamnya matahari tanggal 29 Ramadan), maka kaum muslimin diminta menggenapkan bulan Ramadan menjadi 30 hari.

“Oke, berarti ini sate yang sudah jadi kita masukkan freezer buat hari Sabtu nanti.  Sekarang bakar aja beberapa tusuk buat kita makan sekarang.  Dah pada lapar ‘kan?”

Membakar dan mencicipi sate di malam yang dingin.

Bersama kami membakar dan menikmati beberapa tusuk sate kambing dan ayam sambil ngobrol-ngobrol dalam udara dingin minim cahaya malam itu.

Aku dan Rasyid tiba di rumah Moggill Road diantar Mas Hary sekitar tengah malam.  Kami memasuki hari terakhir Ramadan.

JUMAT, 17 JULI 2015 (30 RAMADAN 1436).  KETUPAT INSTAN.

Buat bangsa Melayu seperti Indonesia dan Malaysia, lebaran identik dengan hidangan berupa ketupat yang disajikan dengan kari, gulai, opor, atau sayur ketupat.  Alamak, ingin rasanya aku mencari pohon kelapa, memanjat, dan mengambil daunnya lalu menganyamnya menjadi ketupat.  Namun yang kujumpai kebanyakan pokok-pokok kayu dan palem, bukan kelapa atau nyiur. 

Untunglah di Yuen’s Market (toko swalayan China yang menjual beraneka bahan makanan Asia) ada ketupat instan Adabi.  Walaupun sebenarnya aku tak suka ketupat plastikan tetapi apa boleh buat, tak ada rotan akar pun jadi.  Tiga puluh menit merebus sudah cukup mengubah kantung-kantung berisi beras menjadi ketupat padat.  Yang menjadi tantangan berikutnya adalah membuat sayurnya.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-16 Mengejar shalat id
dalam seri Ramadan Down Under

Friday, July 1, 2016

Migrasi bukber MFC

SENIN, 13 JULI 2015
Cerita ke-14 dalam seri Ramadan Down Under

Seperti biasa, menjelang matahari terbenam, para brothers menghamparkan tikar-tikar plastik di halaman musala UQ MFC.  Tepat saat Brother Lukman mengumandangkan adzan, kami menikmati beberapa butir kurma dan teh manis sebagai makanan kecil pembuka puasa yang sering disebut takjil walaupun sebenarnya takjil itu adalah “mempercepat (menyegerakan) berbuka puasa”. Beberapa menit kemudian shalat maghrib dilangsungkan dalam suasana yang khusyu dan khidmat.

Selesai shalat kami keluar lagi untuk menikmati santapan seperti biasa.  Namun rupanya cuaca sedang tak bersahabat.  Hembusan angin musim dingin kian menurunkan permukaan air raksa di bilah termometer.  Mungkin ada sekitar 10 derajat celsius.  Udara malam itu tak layak lagi menemani jamaah makan dan minum.

Brother Ismail meminta kami memindahkan acara buka puasa ke dalam musala.  Tikar-tikar yang sudah digelar di pelataran MFC digulung kembali.  Kami bermigrasi ke dalam musala yang lebih hangat.  Lembaran plastik tipis dihamparkan ke atas karpet musala untuk mengantisipasi tumpahan kuah kari.

Bukber di MFC pindah dari halaman ke dalam musala.

Maka pekan terakhir Ramadan ini acara buka puasa di UQ MFC akan terus digelar dalam ruangan musala hingga malam takbiran tiba.  Berpuasa itu menyehatkan tetapi buka puasanya juga harus perhatikan kesehatan.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-15 Sate kambing dan ketupat instan
dalam seri Ramadan Down Under

Thursday, June 30, 2016

Mesjid Darul Uloom, Holland Park, dan Gold Coast

SENIN, 6 JULI 2015.  DARUL ULOOM MOSQUE.
Cerita ke-13 dalam seri Ramadan Down Under

Pengemudi Translink 66 menekan sebuah tombol dekat dashboard dan perlahan pintu depan bus yang dikemudikannya menutup.  Bus layanan Queensland selatan dan tenggara itu meluncur dari UQ Lakes station ke arah kota melewati Schonell Bridge.  Jembatan yang namanya diambil dari nama tokoh pendidik Australia yang menjadi vice-chancellor University of Queensland tahun 1960-1969 itu hanya boleh dilalui oleh bus umum, pesepeda, dan pejalan kaki.

Hari ini aku, Taruna, Mira, Aruni, Rasyid, dan Tari melanjutkan acara Safari Ramadan.  Mira dan Aruni melihat-lihat Google Maps di ponselnya sambil memperhatikan jalan yang kami lalui.  Tujuan kami adalah Australian International Islamic College (AIIC) atau Darul Uloom Academy di mana Darul Uloom Mosque berada.  Sekolah dan mesjid ini berlokasi di 6 Agnes St, Buranda, Queensland.

Mira memencet tombol stop bus.  Kami turun di halte Princess Alexandra Hospital atau biasa disebut PA Hospital.  Rumah sakit ini menggunakan nama cucu termuda King George V dan Queen Mary.

“Nah, tuh persis di seberang rumah sakit ada butcher halal, PA Butcher, pilihan lain kalo cari di Ismail nggak ada,” kata Aruni. 

Ismail yang dimaksud adalah Ismail’s Halal butcher di Fortitude Valley, tempat kami biasa membeli daging sapi dan ayam.

Setelah berjalan kaki sekitar 10 menit, tibalah kami di sebuah masjid yang berada di lantai 2 sebuah sekolah atau madrasah.  Kami mendapati jamaahnya kebanyakan adalah warga Australia keturunan Bangladesh.  Uniknya, mereka dapat mengucapkan beberapa patah bahasa Indonesia, seperti “apa kabar” dan “selamat pagi”.  Rupanya mereka sempat mengenal bahasa nasional kita itu saat terdampar di Indonesia dalam pelarian mereka dari kampung halaman menuju benua di sisi selatan ini.

“How long did you stay in Indonesia?” tanyaku.

“Three months.”

“Yeah, that’s enough to learn Indonesian.  What language did you speak in Bangladesh?”

“Bengali.”

Hahaha, aku baru sadar, ternyata Bangladesh dan Bengali memiliki akar kata yang sama.  Dengan sendirinya aku menyimpulkan kalau sapi benggala berasal dari Bangladesh karena namanya serupa dengan dua kata itu.

“You felt missing your homeland and your friends, didn’t you?”

“Not really.  Living here is better.  We’ve got jobs, make money, and have a car. Please stay till tarawih.  I’ll give you a ride home.”

“Hmm, that would be nice, thank you but we can’t.  We are leaving after the iftar.”

Menempel dengan masjid dan madrasah itu, ada beberapa kamar kos.  Mereka bilang, salah satu penghuninya adalah mahasiswa dari Indonesia.  Sayangnya kami tak sempat berjumpa dengannya.
Selesai berbuka dan shalat maghrib berjamaah, kami turun ke bawah.  Takmir mesjid telah menjajarkan makanan berat di dua tiga meja kecil.
Hidangan buka puasa petang itu adalah nasi goreng Bangladesh yang menurut ukuran nasgor abang-abang terlalu berminyak.  Pada saat yang sama, di UQ, perhimpunan mahasiswa Bangladesh juga tengah mensponsori acara buka puasa di MFC.  Salah satu teman yang ikut buka puasa di sana juga mengatakan bahwa hidangan buka puasa di sana sama, nasi goreng Bangladesh yang kaya akan minyak.

Buka puasa di tempat ini berlangsung ceria dan sangat cair karena jamaahnya senang bercanda.  Ada satu orang yang dituakan tak bosan-bosan menawari kami makanan tambahan yang ia bawa dari rumah.  Brother di sebelahku mengatakan bahwa Pak Tua itu adalah tetua mesjid, orang yang sangat baik, selalu memakmurkan mesjid dan menghidupkan suasana.

Kenyang dengan makanan dan perkenalan yang penuh canda, kami pulang dengan hati yang cerah.  Kami kembali ke UQ untuk shalat tarawih.  Tiap safari Ramadan memang kami rencanakan untuk buka puasa dan shalat maghrib saja karena khawatir tak mendapat angkutan umum untuk kembali.  Walaupun kebanyakan bus beroperasi hingga lewat tengah malam namun untuk daerah-daerah tertentu bus terakhir kembali ke kandang lebih cepat.

RABU, 8 JULI 2015.  HOLLAND PARK MOSQUE.

Dua hari setelah Masjid Darul Uloom, kami mengunjungi mesjid tertua di ibukota ini Queensland ini, Brisbane Mosque atau lebih dikenal sebagai Holland Park Mosque.  Mesjid ini terletak di 309 Nursery Rd, Holland Park, Queensland.  Pertama kali dibangun tahun 1908, kemudian di tahun 1970 bangunan baru didirikan untuk menggantikan yang lama.

Di bagian depan dinding luar mesjid putih ini terpampang kutipan ayat 18 surah At-Taubah beserta terjemahannya: “He only shall tend Allah’s sanctuaries who believeth in Allah and the last day” (Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir).  Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengatakan bahwa memakmurkan mesjid bermakna selalu menghidupkan shalat berjamaah, beribadat di dalamnya, dan memelihara kondisi fisik dan fasilitasnya.


Aruni, Tari, Nadiya, dan Taruna di depan Brisbane Mosque (Holland Park Mosque).

Seseorang menyapa dari serambi mesjid, “Hi, where are you from?”

“We are students from UQ.”

“UK?”

“No. UQ, University of Queensland.”

Pengurus mesjid itu ramah menyambut kami.  Katanya tiap subuh ada seorang jamaah dari Indonesia yang rajin datang.  Ia juga menanyakan di mana lagi biasanya komunitas Indonesia shalat subuh berjamaah.  Mereka ingin sekali-sekali bersilaturahim shalat subuh berjamaah.

Kami mengatakan bahwa saat itu masyarakat Indonesia di Queensland tengah melalui IMCQ tengah menggalang dana untuk merintis pembangunan mesjid di Brisbane.  Sambil menunggu hal tersebut terealisasi, kami menggunakan bangunan kecil di Rocklea sebagai tempat berkumpul dan shalat seperti musala.

KAMIS, 9 JULI 2015.  GOLD COAST MOSQUE.

Dua pertiga Ramadan telah berlalu.  Ada satu mesjid lagi dalam agenda safari Ramadan kami.  Gold Coast Mosque adalah mesjid terakhir yang kami kunjungi tahun ini.  Mesjid yang terletak di Cnr Allied Cr & Olsen Ave, Arundel, Queensland ini adalah mesjid terbesar yang kami kunjungi dalam Safari Ramadan ini dan satu-satunya yang memiliki pengeras suara di bagian luar bangunan sehingga suara adzannya terdengar dari luar.  Jelas sekali syiar Islamnya lebih terasa.

Kami datang tepat pada hari terakhir acara buka puasa bersama di masjid ini.  Menurut informasi dari Singgih Gunarsa, mahasiswa UQ kampus Gold Coast yang berjumpa dengan kami petang itu, esok hari hingga akhir Ramadan, mesjid Gold Coast ini tidak lagi menggelar buka puasa bersama.
Suasana buka puasa sangat ramai seperti bazar.  Ritme dari buka puasa, shalat, dan makan besar berlangsung cepat.  Anak-anak para jamaah ikut berlari-lari di antara jamaah.  Betul-betul seperti di kampung sendiri :)

BERSAMBUNG ke Cerita ke-14 Migrasi bukber MFC
dalam seri Ramadan Down Under