Tuesday, June 21, 2016

Bukber Angklungers

JUMAT, 19 JUNI 2015
Cerita ke-6 dalam seri Ramadan Down Under

UQISA memiliki sebuah klub angklung yang sering diminta tampil di event-event dalam dan luar kampus.  Lantaran para anggotanya disebut Angklungers, klub ini pun lebih sering dikenal sebagai UQ Angklungers.  Saat kudatang Februari 2015, yang menjadi manajer sekaligus konduktor tetap adalah Nadiya Rahmah.  Tiap Jumat malam Nadiya mengumpulkan kami berlatih angklung, memainkan lagu-lagu Indonesia maupun lagu-lagu populer mancanegara seperti Heal the World milik Michael Jackson dan I Still Call Australia Home, sebuah lagu yang menggambarkan patriotisme dan kerinduan akan kampung halaman.

Sejak pukul 11 pagi, aku dan Nadiya nongkrong di Social Sciences and Humanities Library (SSHL), membuat lukisan wajah sekitar sepuluh orang Angklungers.  Sempat diselingi shalat Jumat di MFC dari pukul 13.15 hingga 14.00, kami membuka-buka album facebook para Angklungers yang hendak digambar, mencari gambar terbaik yang paling pas dituangkan ke atas kertas ukuran A4.

“Kita kayak stalker aja, Nad, buka-buka album orang.”

“Gak apa-apa atuh, ini mah halal, nggak mbatalin puasa.”

Aku kebagian menggambar Angklungers yang sudah kukenal sementara Nadiya menggambar Angklungers senior yang belum pernah kulihat atau baru satu-dua kali kujumpai.  Sementara di luar gedung, Cut Monalisa, awardee LPDP yang mengambil program Applied Languages Science ikut membantu dengan membelikan bingkai-bingkai foto di Daiso, sebuah toko waralaba Jepang di Indooroopilly Shopping Centre.

Eka dan Taruna membantu memindai gambar-gambar yang kemudian mendapatkan sentuhan akhir oleh Nadiya dan Photoshopnya.  Menjelang maghrib semua gambar telah tercetak rapi lalu disisipkan ke dalam tiap-tiap bingkai foto.

Malam harinya, para Angklungers berkumpul di Sendok Garpu Restaurant Indooroopilly di Lambert Road.  Kedai yang kadang kami sebut Senpu ini adalah salah satu rumah makan Indonesia yang cukup populer di Brisbane selain Shalom, Sambal Oelek, Jakarta Restaurant, dan Makanan Indonesia.  Interiornya dibuat cantik dengan ornamen bernuansa Bali.  Sebuah payung khas Bali menghiasi pintu masuk yang dijaga dua arca yang biasa kita temukan di pura-pura pulau Dewata.


Bambang, Angklungers yang segera kembali ke tanah air, mengucapkan salam perpisahan pada Angklungers yang masih bertahan.

Kumpul-kumpul Angklungers ini selain untuk berbuka puasa bersama (bukber) juga sebagai acara perpisahan dengan para Angklungers yang tak lama lagi akan kembali ke tanah air.  Beberapa di antara mereka adalah pasangan suami istri.  Agus dan Devi, Candra dan Sari, Mirza dan Ira, Bambang, Nanda, Nugie, Marion, Riza, dan beberapa orang senior yang belum sempat kukenal dan tidak sempat datang malam itu.


Sebagai simbol apresiasi atas peran serta mereka turut memperkenalkan budaya Indonesia di negeri kanguru ini, UQ Angklungers menyerahkan cendera mata berupa lukisan-lukisan wajah yang pagi tadi kukerjakan bersama Nadiya.



Inilah 4 dari 10 orang Angklungers yang akan kembali ke tanah air: Riza, Bambang, Marion, dan Nanda.

Sekembalinya ke rumah di Moggill Road, aku menyiapkan peralatan sketsa untuk esok di South Brisbane Cemetery.  Sempat buka internet melihat harga kursi lipat seperti yang biasa dipakai beberapa teman di Urban Sketchers Brisbane.  Mahal-mahal ternyata, sementara di Kmart (sebuah toko ritel yang barang-barangnya lumayan murah) ada kursi lipat sederhana seharga $8.  Sepertinya aku akan ke Kmart saja nanti.

Capcay Sendok Garpu mulai meninggalkan lambung ketika aku berangkat tidur malam itu.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-7 Berbuka puasa di Augustus Street
dalam seri Ramadan Down Under

No comments: