Monday, July 4, 2016

Ramadan Down Under – Epilog

AHAD, 19 JULI 2015 (2 SYAWAL 1436)
Cerita ke-17 dalam seri Ramadan Down Under

Setelah sukses membuka Ramadan dengan acara bukber bagi Angklungers, Nadiya dengan penuh semangat mengundang kami para Angklungers untuk sebuah acara open house alias silaturahim pascalebaran di apartemennya di Durham Street.  Bersama rekan satu unitnya, Fety dan Cendi, Nadiya memasak aneka hidangan istimewa khas lebaran.  Ternyata yang hadir bukan cuma Angklungers tapi juga banyak teman lain turut merasakan sedapnya hidangan Dapur Durham.  Hanna yang baru berumur dua bulan ikut diboyong oleh Adi dan Dini dengan kereta bayi, menjadi sasaran cubitan dan gendongan semua orang.

Begitulah, hari raya menyatukan kita semua, yang dulu tidak kenal menjadi kenal.  Bertemu di negeri orang langsung menjadi teman, sahabat, dan saudara.

Selamat hari raya Idul Fitri.
Taqabbalallahu minna wa minkum. 
Salam hangat dari Brisbane.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih atas bantuan dan inspirasi semua teman dan saudara-saudariku yang tergabung dalam MSAUQ, IISB, IMCQ, UQISA, UQ Angklungers, UQ GantiNamo 2015, dan Nyampah Disini.

Sampai berjumpa di lain cerita.

TAMAT.

Sunday, July 3, 2016

Mengejar shalat id

SABTU, 18 JULI 2015 (1 SYAWAL 1436)
Cerita ke-16 dalam seri Ramadan Down Under

Muslim Students Association in the University of Queensland (MSAUQ) berencana menggelar shalat id di Connell Building tempat aku ujian SHRM dulu di malam pertama Ramadan.  Kami tak mendapat izin menggunakan tanah lapang dengan alasan keamanan walaupun di tempat lain ada beberapa komunitas muslim mendapatkan izin untuk shalat di tempat terbuka.  Sepertinya pertimbangan keamanan menjadi alasan setelah ada indikasi gerakan sekelompok orang yang menamakan diri “Reclaim Australia”. Kelompok itu menjadi kontroversial lantaran mengusung rasisme, bigotry, dan islamofobia.

Pagi hari 1 Syawal 1436 H, aku dan Faiq sudah bangun cukup pagi namun ternyata bus yang kami incar sudah lewat.  Jangankan ke lokasi shalat id di Oxley Creek yang digelar IISB, yang di UQ saja kami ketinggalan.  Kalau saja berhasil mencegat bus nomor 428 yang lewat halte Indooroopilly Elementary School pukul 6.27, kami bisa tiba jam 6.48 di kampus UQ.  Tapi karena terlambat tiba dua menit di halte, kabur sudah busnya.  Mau nyambung dua kali via Toowong pun sudah terlambat.  Sedih rasanya melihat postingan foto teman-teman tentang suasana shalat id di Connell Building dan Oxley Creek, apalagi pake acara makan sate segala :(

Enak banget, pada makan sate di Oxley Creek, Rocklea.

“Yaudah kita makan ketupat aja, Iq. Ni gua bikin sama sayurnya.”

Hari itu tak ada daging atau opor di kos kami.

“Besok Nadiya open house di rumahnya Durham Street.  Mau ikut nggak?”

Nadiya manajer angklung itu akan masak banyak untuk teman-teman yang esok datang bersilaturahim.  Ia dibantu oleh Fety dan Cendi yang tinggal di apartemen yang sama.

“Nggak, Kasur.  Gua ada kerjaan.”

BERSAMBUNG ke Cerita ke-17 Epilog
dalam seri Ramadan Down Under

Saturday, July 2, 2016

Sate kambing dan ketupat instan

KAMIS, 16 JULI 2015 (29 RAMADAN 1436).  SATE KAMBING ROCKLEA.
Cerita ke-15 dalam seri Ramadan Down Under

Masyarakat muslim Indonesia di Queensland mempunyai cita-cita mendirikan masjid demi menyemarakkan kehidupan beragama di negara bagian yang terletak belahan timur laut Australia ini.  Indonesian Muslim Community in Queensland (IMCQ) sempat membeli sebidang tanah dan bangunan di wilayah Rocklea, dekat Brisbane Market.  Mulanya dimaksudkan untuk masjid namun ternyata daerah itu tidak diperuntukkan bagi rumah ibadah melainkan untuk pergudangan namun boleh digunakan untuk pertemuan komunitas.

Alternatif selain membangun mesjid baru adalah membeli rumah ibadah tua yang sudah tidak dipakai, untuk kemudian dikonversi menjadi masjid.  Hal seperti itu diperkenankan oleh hukum setempat.

Hari Kamis penghujung Ramadan itu Rasyid mengajakku ke Rocklea untuk membantu Pak Hendri, sesepuh IMCQ, menyiapkan sate untuk konsumsi shalat id nanti.  Taruna dan beberapa brothers turut bergabung.

Kami mulai memotong daging kambing dan ayam yang dipasok oleh salah satu halal butcher.  Dagingnya bersih dan segar.

“Motongnya gede-gede, jangan kecil-kecil. Ini Australia, porsi makanannya gede-gede walaupun yang makan orang-orang kita juga.  Biar kenyang dan senang semua orang.”

Haha, bener juga.  Sate ini nanti harus menyenangkan para jamaah.  Stoknya pun kali lihat cukup untuk mengenyangkan sekitar 300 orang.  Kami sampai berganti sarung tangan plastik berkali-kali.

“Kalau lebarannya besok, maka besok pagi-pagi sate-sate ini harus sudah siap.  Tinggal dibakar setelah shalat ‘id. Mas Hary, sudah ada kabar dari Kuraby?”

Kuraby adalah nama sebuah tempat yang banyak dihuni oleh komunitas muslim terutama Timur Tengah.  Sepertinya para pemuka agama di sana menjadi acuan untuk hal-hal krusial seperti penentuan awal Ramadan dan Syawal.

Mas Hary yang juga seorang permanent resident (PR) seperti Pak Hendri membuka ponsel dan membaca pesan, “Hilal tidak terlihat.  Lebaran disepakati lusa, hari Sabtu.”

Menurut ketentuan, apabila hilal (bulan sabit yang menandakan terbitnya bulan baru) tidak terlihat (pada pengamatan saat terbenamnya matahari tanggal 29 Ramadan), maka kaum muslimin diminta menggenapkan bulan Ramadan menjadi 30 hari.

“Oke, berarti ini sate yang sudah jadi kita masukkan freezer buat hari Sabtu nanti.  Sekarang bakar aja beberapa tusuk buat kita makan sekarang.  Dah pada lapar ‘kan?”

Membakar dan mencicipi sate di malam yang dingin.

Bersama kami membakar dan menikmati beberapa tusuk sate kambing dan ayam sambil ngobrol-ngobrol dalam udara dingin minim cahaya malam itu.

Aku dan Rasyid tiba di rumah Moggill Road diantar Mas Hary sekitar tengah malam.  Kami memasuki hari terakhir Ramadan.

JUMAT, 17 JULI 2015 (30 RAMADAN 1436).  KETUPAT INSTAN.

Buat bangsa Melayu seperti Indonesia dan Malaysia, lebaran identik dengan hidangan berupa ketupat yang disajikan dengan kari, gulai, opor, atau sayur ketupat.  Alamak, ingin rasanya aku mencari pohon kelapa, memanjat, dan mengambil daunnya lalu menganyamnya menjadi ketupat.  Namun yang kujumpai kebanyakan pokok-pokok kayu dan palem, bukan kelapa atau nyiur. 

Untunglah di Yuen’s Market (toko swalayan China yang menjual beraneka bahan makanan Asia) ada ketupat instan Adabi.  Walaupun sebenarnya aku tak suka ketupat plastikan tetapi apa boleh buat, tak ada rotan akar pun jadi.  Tiga puluh menit merebus sudah cukup mengubah kantung-kantung berisi beras menjadi ketupat padat.  Yang menjadi tantangan berikutnya adalah membuat sayurnya.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-16 Mengejar shalat id
dalam seri Ramadan Down Under

Friday, July 1, 2016

Migrasi bukber MFC

SENIN, 13 JULI 2015
Cerita ke-14 dalam seri Ramadan Down Under

Seperti biasa, menjelang matahari terbenam, para brothers menghamparkan tikar-tikar plastik di halaman musala UQ MFC.  Tepat saat Brother Lukman mengumandangkan adzan, kami menikmati beberapa butir kurma dan teh manis sebagai makanan kecil pembuka puasa yang sering disebut takjil walaupun sebenarnya takjil itu adalah “mempercepat (menyegerakan) berbuka puasa”. Beberapa menit kemudian shalat maghrib dilangsungkan dalam suasana yang khusyu dan khidmat.

Selesai shalat kami keluar lagi untuk menikmati santapan seperti biasa.  Namun rupanya cuaca sedang tak bersahabat.  Hembusan angin musim dingin kian menurunkan permukaan air raksa di bilah termometer.  Mungkin ada sekitar 10 derajat celsius.  Udara malam itu tak layak lagi menemani jamaah makan dan minum.

Brother Ismail meminta kami memindahkan acara buka puasa ke dalam musala.  Tikar-tikar yang sudah digelar di pelataran MFC digulung kembali.  Kami bermigrasi ke dalam musala yang lebih hangat.  Lembaran plastik tipis dihamparkan ke atas karpet musala untuk mengantisipasi tumpahan kuah kari.

Bukber di MFC pindah dari halaman ke dalam musala.

Maka pekan terakhir Ramadan ini acara buka puasa di UQ MFC akan terus digelar dalam ruangan musala hingga malam takbiran tiba.  Berpuasa itu menyehatkan tetapi buka puasanya juga harus perhatikan kesehatan.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-15 Sate kambing dan ketupat instan
dalam seri Ramadan Down Under

Thursday, June 30, 2016

Mesjid Darul Uloom, Holland Park, dan Gold Coast

SENIN, 6 JULI 2015.  DARUL ULOOM MOSQUE.
Cerita ke-13 dalam seri Ramadan Down Under

Pengemudi Translink 66 menekan sebuah tombol dekat dashboard dan perlahan pintu depan bus yang dikemudikannya menutup.  Bus layanan Queensland selatan dan tenggara itu meluncur dari UQ Lakes station ke arah kota melewati Schonell Bridge.  Jembatan yang namanya diambil dari nama tokoh pendidik Australia yang menjadi vice-chancellor University of Queensland tahun 1960-1969 itu hanya boleh dilalui oleh bus umum, pesepeda, dan pejalan kaki.

Hari ini aku, Taruna, Mira, Aruni, Rasyid, dan Tari melanjutkan acara Safari Ramadan.  Mira dan Aruni melihat-lihat Google Maps di ponselnya sambil memperhatikan jalan yang kami lalui.  Tujuan kami adalah Australian International Islamic College (AIIC) atau Darul Uloom Academy di mana Darul Uloom Mosque berada.  Sekolah dan mesjid ini berlokasi di 6 Agnes St, Buranda, Queensland.

Mira memencet tombol stop bus.  Kami turun di halte Princess Alexandra Hospital atau biasa disebut PA Hospital.  Rumah sakit ini menggunakan nama cucu termuda King George V dan Queen Mary.

“Nah, tuh persis di seberang rumah sakit ada butcher halal, PA Butcher, pilihan lain kalo cari di Ismail nggak ada,” kata Aruni. 

Ismail yang dimaksud adalah Ismail’s Halal butcher di Fortitude Valley, tempat kami biasa membeli daging sapi dan ayam.

Setelah berjalan kaki sekitar 10 menit, tibalah kami di sebuah masjid yang berada di lantai 2 sebuah sekolah atau madrasah.  Kami mendapati jamaahnya kebanyakan adalah warga Australia keturunan Bangladesh.  Uniknya, mereka dapat mengucapkan beberapa patah bahasa Indonesia, seperti “apa kabar” dan “selamat pagi”.  Rupanya mereka sempat mengenal bahasa nasional kita itu saat terdampar di Indonesia dalam pelarian mereka dari kampung halaman menuju benua di sisi selatan ini.

“How long did you stay in Indonesia?” tanyaku.

“Three months.”

“Yeah, that’s enough to learn Indonesian.  What language did you speak in Bangladesh?”

“Bengali.”

Hahaha, aku baru sadar, ternyata Bangladesh dan Bengali memiliki akar kata yang sama.  Dengan sendirinya aku menyimpulkan kalau sapi benggala berasal dari Bangladesh karena namanya serupa dengan dua kata itu.

“You felt missing your homeland and your friends, didn’t you?”

“Not really.  Living here is better.  We’ve got jobs, make money, and have a car. Please stay till tarawih.  I’ll give you a ride home.”

“Hmm, that would be nice, thank you but we can’t.  We are leaving after the iftar.”

Menempel dengan masjid dan madrasah itu, ada beberapa kamar kos.  Mereka bilang, salah satu penghuninya adalah mahasiswa dari Indonesia.  Sayangnya kami tak sempat berjumpa dengannya.
Selesai berbuka dan shalat maghrib berjamaah, kami turun ke bawah.  Takmir mesjid telah menjajarkan makanan berat di dua tiga meja kecil.
Hidangan buka puasa petang itu adalah nasi goreng Bangladesh yang menurut ukuran nasgor abang-abang terlalu berminyak.  Pada saat yang sama, di UQ, perhimpunan mahasiswa Bangladesh juga tengah mensponsori acara buka puasa di MFC.  Salah satu teman yang ikut buka puasa di sana juga mengatakan bahwa hidangan buka puasa di sana sama, nasi goreng Bangladesh yang kaya akan minyak.

Buka puasa di tempat ini berlangsung ceria dan sangat cair karena jamaahnya senang bercanda.  Ada satu orang yang dituakan tak bosan-bosan menawari kami makanan tambahan yang ia bawa dari rumah.  Brother di sebelahku mengatakan bahwa Pak Tua itu adalah tetua mesjid, orang yang sangat baik, selalu memakmurkan mesjid dan menghidupkan suasana.

Kenyang dengan makanan dan perkenalan yang penuh canda, kami pulang dengan hati yang cerah.  Kami kembali ke UQ untuk shalat tarawih.  Tiap safari Ramadan memang kami rencanakan untuk buka puasa dan shalat maghrib saja karena khawatir tak mendapat angkutan umum untuk kembali.  Walaupun kebanyakan bus beroperasi hingga lewat tengah malam namun untuk daerah-daerah tertentu bus terakhir kembali ke kandang lebih cepat.

RABU, 8 JULI 2015.  HOLLAND PARK MOSQUE.

Dua hari setelah Masjid Darul Uloom, kami mengunjungi mesjid tertua di ibukota ini Queensland ini, Brisbane Mosque atau lebih dikenal sebagai Holland Park Mosque.  Mesjid ini terletak di 309 Nursery Rd, Holland Park, Queensland.  Pertama kali dibangun tahun 1908, kemudian di tahun 1970 bangunan baru didirikan untuk menggantikan yang lama.

Di bagian depan dinding luar mesjid putih ini terpampang kutipan ayat 18 surah At-Taubah beserta terjemahannya: “He only shall tend Allah’s sanctuaries who believeth in Allah and the last day” (Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir).  Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengatakan bahwa memakmurkan mesjid bermakna selalu menghidupkan shalat berjamaah, beribadat di dalamnya, dan memelihara kondisi fisik dan fasilitasnya.


Aruni, Tari, Nadiya, dan Taruna di depan Brisbane Mosque (Holland Park Mosque).

Seseorang menyapa dari serambi mesjid, “Hi, where are you from?”

“We are students from UQ.”

“UK?”

“No. UQ, University of Queensland.”

Pengurus mesjid itu ramah menyambut kami.  Katanya tiap subuh ada seorang jamaah dari Indonesia yang rajin datang.  Ia juga menanyakan di mana lagi biasanya komunitas Indonesia shalat subuh berjamaah.  Mereka ingin sekali-sekali bersilaturahim shalat subuh berjamaah.

Kami mengatakan bahwa saat itu masyarakat Indonesia di Queensland tengah melalui IMCQ tengah menggalang dana untuk merintis pembangunan mesjid di Brisbane.  Sambil menunggu hal tersebut terealisasi, kami menggunakan bangunan kecil di Rocklea sebagai tempat berkumpul dan shalat seperti musala.

KAMIS, 9 JULI 2015.  GOLD COAST MOSQUE.

Dua pertiga Ramadan telah berlalu.  Ada satu mesjid lagi dalam agenda safari Ramadan kami.  Gold Coast Mosque adalah mesjid terakhir yang kami kunjungi tahun ini.  Mesjid yang terletak di Cnr Allied Cr & Olsen Ave, Arundel, Queensland ini adalah mesjid terbesar yang kami kunjungi dalam Safari Ramadan ini dan satu-satunya yang memiliki pengeras suara di bagian luar bangunan sehingga suara adzannya terdengar dari luar.  Jelas sekali syiar Islamnya lebih terasa.

Kami datang tepat pada hari terakhir acara buka puasa bersama di masjid ini.  Menurut informasi dari Singgih Gunarsa, mahasiswa UQ kampus Gold Coast yang berjumpa dengan kami petang itu, esok hari hingga akhir Ramadan, mesjid Gold Coast ini tidak lagi menggelar buka puasa bersama.
Suasana buka puasa sangat ramai seperti bazar.  Ritme dari buka puasa, shalat, dan makan besar berlangsung cepat.  Anak-anak para jamaah ikut berlari-lari di antara jamaah.  Betul-betul seperti di kampung sendiri :)

BERSAMBUNG ke Cerita ke-14 Migrasi bukber MFC
dalam seri Ramadan Down Under

Wednesday, June 29, 2016

Bukber GantiNamo

JUMAT, 3 JULI 2015
Cerita ke-12 dalam seri Ramadan Down Under

Puri dan Yoga adalah pasangan suami istri yang sangat brilian.  Keduanya mendapat beasiswa AAS (Australia Awards Scholarship) yang dibiayai pemerintah Australia untuk kuliah di UQ.  Puri masuk pada musim panas (awal tahun) 2015 kemudian disusul Yoga pada musim dinginnya.  Inilah salah satu penyebab bergabungnya dua grup WhatsApp kami, Summer dan Winter menjadi GantiNamo, agar mereka bisa terus berada dalam grup yang sama.  Peleburan dua grup ini juga berdampak positif dengan makin ramainya diskusi daring maupun kumpul-kumpul luring.

Puri dan Yoga tinggal di Carmody Road, sekitar 1,3 km dari kampus UQ St Lucia.  Sayangnya, bus Translink 414 yang melewati tempat tinggal mereka hanya beroperasi hingga pukul 18.00.  Kalau hendak bolak-balik kampus selepas jam itu, mereka harus berjalan kaki.  Menjadi tantangan tersendiri bagi Yoga karena ia harus dengan penuh semangat memacu kursi rodanya menyusuri Carmody Road yang bergelombang naik turun sebagaimana kontur tanah di Brisbane pada umumnya.

Sesuai agenda, Jumat petang ini satu per satu anggota grup GantiNamo meluncur ke unit rumah dekat St Lucia Playground itu.  Tak hanya mereka yang berguru di St Lucia, yang berumah di UQ Herston seperti Mbak Diana dan Mas Hari pun ikut hadir.  Beberapa teman meluncur tiba dengan naik sepeda.  Tak terlalu berkeringat mereka lantaran sedang musim dingin.  Dari mahasiswa angkatan sebelumnya, bergabung Nadiya manajer Angklungers.

Stok makanan mulai menumpuk seiring dengan kedatangan orang-orang ini.  Seperti kebiasaan di Brisbane, share plates atau pot luck adalah hal yang lumrah saat kumpul-kumpul.  Tiap-tiap orang membawa makanan atau minuman yang berbeda-beda buat acara ini.  Aku dan Felix cukup cerdik dengan hanya membawa beberapa botol jus, lebih praktis ketimbang harus capek-capek masak, hahaha.... Oh iya, air keran (tap water) di sini sebenarnya bisa langsung diminum tanpa dimasak terlebih dahulu namun jus buah tentu lebih sehat.

Personel GantiNamo lainnya membawa lauk pauk dan kudapan yang mereka masak hari ini.  Semua logistik termasuk alat makan sekali pakai tumpah ruah di atas karpet.  Puri dan Yoga sebagai tuan rumah yang sedianya hanya menyediakan nasi putih turut mencurahkan isi dapurnya.  Yang masih kurang puas dan mau nambah lauk dipersilakan nyeplok telor sendiri.  Kebetulan mereka baru saja memborong telur di supermarket.  Kurang apa lagi?  Sungguh tuan rumah yang baik hati. 

Personel GantiNamo, gabungan mahasiswa UQ Summer dan Winter 2015, selepas acara bukber di Carmody Road.

Sepertinya benar klaim yang menyatakan bahwa udara dingin bikin orang lebih lapar.  Saat bukbernya bubar, tiada makanan berat yang tersisa.  Yang membekas hanyalah kudapan renyah semacam keripik kentang yang telah habis separuhnya.

Terima kasih, GantiNamo!

BERSAMBUNG ke Cerita ke-13 Mesjid Darul Uloom, Holland Park, dan Gold Coast
dalam seri Ramadan Down Under

Tuesday, June 28, 2016

Mesjid Al Farooq dan Darra

SENIN, 29 JUNI 2015. MESJID AL FAROOQ, KURABY.
Cerita ke-11 dalam seri Ramadan Down Under

Shalat tarawih di UQ MFC selesai sekitar pukul 20.00.  Sambil menunggu bus di halte Chancellors Place, kami berbincang.

“Eh, di Brisbane ini banyak mesjid ga ya?” kataku.

“Nggak banyak kayaknya.  Bentar gua cek,” Rasyid yang aktif di IISB menyahut dan langsung buka peramban web di ponselnya.  “Kalo di Queensland sih ada sekitar 35 buah mesjid dan musola, termasuk musola kampus kayak MFC kita.”

“Safari Ramadan yuk, Cid,” Taruna kasih usul. 

Safari Ramadan adalah penjelajahan dari mesjid ke mesjid selama bulan Ramadan, biasanya dilakukan untuk berbuka puasa dan shalat berjamaah.  Dalam sebuah safari Ramadan, penjelajah dapat menikmati atmosfer yang berbeda-beda karen berjumpa dengan orang yang berbeda-beda pula.

“Yuk! Mau ke mana nih?”

“Yang deket-deket aja, sekitar Brisbane.  Biar pulangnya gampang.”

“Ke mesjid Darra aja dulu kalo gitu.”

“Mau ikut nggak Mir, Run, Tar?”  Taruna secepat kilat menawari para gadis salehah.

“Ikut dong,” Mira semangat betul.  Gadis cantik yang pernah jadi finalis Puteri Indonesia mewakili Kalimantan Barat itu membuka galeri gambar di ponselnya.

“Kemarin kan kita-kita sama Mbak Cutmon dan Kak Nad dah safari Ramadan duluan.  Nih liat!”

Mira, Cutmon, Aruni, Tari, dan Nadiya merintis Safari Ramadan ke Masjid Al Farooq, Kuraby.

Ditunjukkannya sebuah foto selfie berempat yang mereka ambil di pelataran sebuah mesjid.  Di belakang mereka nampak sebuah menara silinder dengan replika bola dunia dan bulan bintang di atasnya.

“Wah, mesjid mana tuh?”

“Kuraby.”

Kuraby adalah sebuah suburb yang banyak dihuni muslim keturunan Timur Tengah yang di dalamnya terdapat sebuah mesjid bernama Al Farooq.  Aku, Taruna, dan Rasyid tempo hari pernah shalat Jumat di mesjid itu.  Waktu itu tidak sempat memperhatikan ada menara itu atau tidak.  Perjalanan ke mesjid itu lumayan jauh kalau dari St Lucia, harus pakai KRL.

“Sip kalo gitu, besok kita ke Darra,” Rasyid memutuskan sesaat sebelum kami naik bus 428.

SELASA, 30 JUNI 2015. DARRA MOSQUE.

Keesokan harinya kami bertujuh (aku, Taruna, Tari, Aruni, Reno, Eka, dan Rasyid) berangkat ke Darra Mosque.  Mira yang kemarin semangat betul, ternyata tak bisa ikut ke mesjid yang terletak di 215 Douglas St, Oxley, Queensland ini.

Rombongan safari Ramadan sambung menyambung naik bus, KRL, dan bus lagi.  Rinai hujan baru saja reda saat kami tiba di mesjid ini beberapa menit menjelang maghrib.



Mesjid Darra, Oxley, Queensland.

Aku sempat bertanya kepada salah satu jamaah di sana mengenai nama resmi mesjid ini.  Sepengamatanku, nama-nama mesjid yang kami kunjungi selalu menggunakan nama daerah, bukan nama-nama Arab seperti biasa kita temui di Indonesia.  Pengurus mesjid mengatakan nama mesjid itu ya Darra, sesuai nama daerah situ.  Yang agak istimewa memang mesjid  Al Farooq yang menggunakan bahasa Arab, namun tetap saja orang-orang lebih sering menyebutnya masjid Kuraby, sesuai nama mesjid tersebut berdomisili.
Selepas berbuka puasa dan shalat maghrib, Aruni sepertinya masih lapar, “Eh, makan di mana ni?”

“Senpu yuk, sambil pulang,” usul Tari, alumnus UI yang ternyata tetangga jauhku di Tangerang Selatan.  Senpu adalah sebutan kami untuk restoran Indonesia Sendok Garpu.

Makan malam di Senpu diwarnai insiden “tertukarnya” rasa gado-gado dan pecel.  Entah karena salah resep atau apa, aku mendapati bumbu gado-gadonya lebih mendekati rasa pecel.  Aruni yang juga memesan gado-gado mengiyakan penemuanku.

“Besok kita buka puasa di mana lagi, Cid?” tanya Taruna pada Rasyid.

“Di kampus aja dulu, Tar.  Senin baru kita safari Ramadan lagi.  Gua besok ada tugas di lab sampe sore.  Terus Jumat ada bukber di Carmody, rumah Puri, anak-anak GantiNamo.”

GantiNamo adalah nama grup WhatsApp untuk mahasiswa Indonesia yang masuk UQ tahun 2015.  Mulanya grup itu bernama Summericious yang berisi mahasiswa Summer (awal tahun), namun setelah mahasiswa Winter (tengah tahun) ikut bergabung, namanya diubah jadi GantiNamo.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-12 Bukber GantiNamo
dalam seri Ramadan Down Under

Monday, June 27, 2016

Soto Betawi di bukber IISB

AHAD, 28 JUNI 2015
Cerita ke-10 dalam seri Ramadan Down Under

Sejak pagi, Taruna sudah sibuk mengkoordinasi para relawan untuk menyukseskan acara buka puasa petang nanti di University of Queensland (UQ), St Lucia.  Ini adalah satu dari empat rangkaian buka puasa bersama (bukber) yang disponsori oleh Indonesian Islamic Society of Brisbane (IISB), setelah seminggu sebelumnya diadakan di QUT (Queensland University of Technology) dan pekan-pekan berikutnya di IMCQ Hall Kuraby dan Griffith University.

Pukul 09.30 acara bertajuk “Iftar dan Tausiyah IISB” telah dimulai dengan acara Pesantren Kilat TPA di Multifaith Chaplaincy Centre (MFC).  Cut Monalisa dan kawan-kawan membimbing anak-anak belajar dalam keceriaan.  Ba’da ashar, Nilam memandu acara Tausiyah yang menghadirkan Ustadz Yusni dari PKPU (Pos Keadilan Peduli Ummat).

 
Ustadz Yusni tengah memberikan tausiyah.

Di saat yang sama, kesibukan memuncak di kediaman Mas Kamil dan Mbak Swasmi.  Unit rumah di Warren Street itu menjadi pusat penyiapan hidangan berbuka puasa.  Beberapa bahan seperti bawang goreng, kentang goreng dadu, kuah soto, dan telur rebus telah di-subkontrakkan penyiapannya di beberapa relawan yang bersedia memasakkan.  Setelah siap, mereka mengirimnya ke rumah ini.  Namun setelah dikira-kira lagi, jumlah kentang goreng dadu masih jauh dari mencukupi.  Seorang relawan segera kabur ke supermarket Coles untuk belanja 10 kilogram kentang lagi berikut beberapa jenis bumbu dapur.

Eka, Faiq, dan Galih penuh semangat mengemas nasi untuk hidangan buka puasa.

Praktis hari itu dapur Mbak Swasmi berantakan abis, lebih parah daripada Titanic atau kapal Van der Wijck.  Mangkuk plastik sekali pakai bertumpukan di mana-mana.  Separuhnya sudah diisi nasi putih oleh Eka, Faiq, dan Galih.  Ibu-ibu seperti Puri dan Mbak Ambar membubuhi nasi itu dengan potongan kentang goreng, tomat merah, telur rebus, dan bawang goreng lalu mengemasnya dengan tutup mangkuk yang kadang pas kadang tidak.  Rupanya ada dua ukuran mangkuk plus penutup yang diameternya berselisih satu atau dua milimeter tetapi cukup merepotkan saat dipasang karena tidak bisa “klik”.

Di garasi, Mas Kamil tak sempat berehat lama-lama.  Ia harus menghidupkan mesin mobilnya lagi lalu mengangkut semua logistik ke UQ MFC, lokasi berbuka puasa.  Matahari sudah condong ke barat.

Aku dan Indra menjemput kontribusi makanan tambahan dari para permanent residents (PR), mulai dari buah-buahan, jajan pasar, hingga hidangan pencuci mulut.  Baru kutahu, ternyata beberapa PR sudah menetap di negeri ini selama puluhan tahun.  Walaupun begitu, darah mereka masih merah putih, ikatan persaudaraan dengan warga negara Indonesia masih sangat erat walaupun sudah jauh dari tanah air.

Matahari makin mendekati cakrawala.  Aku tak sempat pulang untuk berganti pakaian.  Selepas shalat maghrib, kuah soto dalam panci-panci besar sudah menunggu untuk dituangkan ke dalam mangkuk yang sudah dipegang para shaimin (orang-orang yang berpuasa).
Saat sibuk melayani para pengantre, tiba-tiba ada yang mencolekku dari belakang.

“Hi, Suryadi.”


Tiba-tiba ada yang muncul dari belakang ...

Aku terkesiap.  Ada seraut wajah cantik teruja penuh senyum.  Sesaat aku berusaha mengingat siapa gadis bertudung satin itu.

“Hmmm... Hi! It’s nice to see you.”

Sengaja tak kusebut namanya, takut salah.  Yang kuingat cuma satu, bahwa ia adalah gadis Malaysia.  Aku pernah melihatnya di suatu tempat.  Ini pasti salah satu dari dua Siti yang kukenal: Lyana atau Khadijah.  Lyana adalah teman sekelasku di mata kuliah Wise Leadership bersama Nanda, Motaz, dan Farah.  Sementara Khadijah adalah alumni UQ yang baru kukenal kemarin saat Saturday Sketchout di Moorland’s House dekat Wesley Hospital.  Ia tak bertudung seperti Lyana namun boleh jadi di malam Ramadan ini ia berkerudung, pikirku.

Ia menunjuk menunjuk panci besar di hadapanku.

“What is that? What are you serving?”

“Oh, ni soto betawi.  Semacam sup dengan kuah bersantan. From my hometown.”
Bangga sekali aku menyebut “my hometown”, seolah-olah kuah soto yang sedang kuaduk-aduk ini baru saja diterbangkan dari Jakarta ke Brisbane.

“Sup daging lembu?”

“Ye, macam tu lah. Kenape?”  Kutimpali tuturan bahasa Melayunya.  Ia seperti ragu-ragu hendak mencoba soto daging sapi ini.

“Hmm, takpe.  Pasti sedap. Boleh bagi?”

“Boleh boleh.  This way, Sister.”

Kutunjukkan padanya antrean untuk para sisters (akhwat).

Setelah ia larut dalam kerumunan jamaah iftar, barulah kuingat.  Ia adalah Lyana.  Di Business School UQ, ia mengambil major (konsentrasi) Marketing yang harus diselesaikannya dalam masa satu setengah tahun, satu semester lebih panjang daripada masa studiku.  Kalau akhir tahun nanti aku wisuda, Lyana baru kembali ke Kuala Lumpur Juli 2016.

Setelah seluruh jamaah sudah mendapat masing-masing satu mangkuk soto, panitia mempersilakan mereka untuk masuk ronde kedua, tambah satu porsi atau bawa pulang alias tapau.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-11 Mesjid Al Farooq dan Darra
dalam seri Ramadan Down Under

Sunday, June 26, 2016

Big Iftar dan Ramadan Under Stars

SABTU, 27 JUNI 2015
Cerita ke-9 dalam seri Ramadan Down Under

The University of Queensland (UQ) terbilang sangat menjunjung kebebasan menjalankan keyakinan dan berusaha mewujudkan kerukunan dan saling pengertian antarpemeluk agama.  Selain menyediakan ruang ibadah di Multifaith Chaplaincy Centre (MFC), universitas ini juga tidak segan-segan memperkenalkan tradisi penganut Islam di kampus kepada para pemeluk agama lainnya.

Di bulan Ramadan, ada dua agenda yang menghadirkan upaya ini, yakni Big Iftar (buka puasa besar-besaran) oleh MSAUQ (Muslim Students Association at UQ) dan Ramadan Under Stars oleh UQ Union (induk organisasi kemahasiswaan).  Kalau Big Iftar diusung di halaman MFC maka yang belakangan digelar di Forgan Smith Lawns, yakni padang rumput depan gedung utama, Forgan Smith Building.

Kedua acara ini dimaksudkan sebagai ajang berbagi pengalaman mengenai tradisi dan praktik yang umum dilakukan selama Ramadan oleh komunitas muslim di UQ dan seluruh dunia pada umumnya sehingga diharapkan akan tercipta rasa saling mengerti dan menghormati.

Ramiz dan kawan-kawan dari Pakistan tengah berbagi pengalaman tentang Ramadan pada acara Ramadan Under Stars.

Sejak petang pukul 16.30, beberapa tenda sudah berdiri di Forgan Smith Lawns.  Di bawah naungannya berdiri beberapa gerai informasi mengenai Islam dan Ramadan.  Ada juga anjungan yang menyediakan makanan cuma-cuma untuk buka puasa seperti kurma dan minuman manis.  Makanan berat disusulkan kemudian.  Tikar terpal juga ikut digelar sebagai alas duduk buat ngobrol-ngobrol dan makan.

Sesiapa saja disambut hangat bergabung dalam keriaan ini, merasakan suasana berbuka puasa bersama dan berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang Ramadan. Para pengunjung juga dapat menyaksikan bagaimana orang-orang Islam mengerjakan shalat sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada sang Pencipta.  Tak hanya satu dua jam, acara ini digelar hingga pukul 9 malam.

Mengenai bagaimana teman-teman yang beragama lain turut merasakan atmosfer Ramadan, Anita bercerita bahwa beberapa temannya yang berasal dari Mongolia, Filipina, dan Singapura ikut berbuka puasa di MFC Big Iftar.  Mereka hendak merasakan aura kebahagiaan walaupun siangnya tak turut merasakan lapar dan dahaga.  Teman yang dari Mongolia itu bahkan turut berpuasa setengah hari sembari berargumen bahwa selama berpuasa terjadi detoksifikasi dalam aliran darahnya sehingga wajahnya tak lagi berjerawat.  Aku sendiri terbebas dari sakit maag setelah menjalani puasa Ramadan dikombinasikan dengan obat maag sesuai anjuran.
Mengenai hubungan antara puasa dan kesehatan ini, Rasulullah SAW bersabda, “Berpuasalah, maka kamu akan sehat.”

BERSAMBUNG ke Cerita ke-10 Soto Betawi di bukber IISB
dalam seri Ramadan Down Under

Saturday, June 25, 2016

Berbuka puasa di MFC

SENIN, 22 JUNI 2015
Cerita ke-8 dalam seri Ramadan Down Under

Setiap hari di bulan Ramadan, MSAUQ (Muslim Students Association at the University of Queensland) mengadakan buka puasa bersama di Multifaith Prayer SpaceMultifaith Chaplaincy Centre (MFC).  Beberapa hari di antaranya bekerja sama dengan perhimpunan mahasiswa atau komunitas muslim dari negara tertentu, seperti Indonesia, Malaysia, Bangladesh, dan Saudi Arabia.


Suasana bukber di MFC

Berbuka puasa bersama para shaimin (orang yang berpuasa) lainnya tentu saja terasa lebih indah ketimbang buka puasa sendirian saja di rumah.  Selain soal kebersamaan, buka puasa bersama juga menjadi salah satu pintu kebaikan karena sesiapa yang memberi makan buka puasa bagi seorang shaimin maka ia mendapat ganjaran sebesar pahala orang itu tanpa mengurangi sedikit pun pahalanya.

Di MFC, menu buka puasa biasanya berupa kurma, teh manis atau air minum dalam kemasan, buah-buahan, dan hidangan utama berupa nasi rempah plus kari a la timur tengah.
Apabila acara buka puasa hari itu disponsori oleh perkumpulan mahasiswa atau komunitas muslim dari negara tertentu maka makanan utamanya berupa hidangan khas negara tersebut.  Misalnya nasi briyani Timur Tengah, soto betawi Indonesia, nasi hujan panas Malaysia, atau nasi goreng Bangladesh.  Mengikuti bukber MFC tiap hari bisa menambah khazanah perkulineran, menyambung silaturahim, dan tentu saja menghemat pengeluaran :)

BERSAMBUNG ke Cerita ke-9 Big Iftar dan Ramadan Under Stars
dalam seri Ramadan Down Under

Thursday, June 23, 2016

Berbuka puasa di Augustus Street

SABTU, 20 JUNI 2015
Cerita ke-7 dalam seri Ramadan Down Under

Kalau saja Saturday Sketchout hari ini diadakan pada malam hari, mungkin South Brisbane Cemetery akan kelihatan seperti adegan dalam film Batman atau film-film horor Hollywood.  Namun karena acara gambar-menggambar ini dilakukan pada pagi hari, tak terasa kengerian apa pun.  Kompleks pemakaman ini bersih dan rapi walaupun sudah memasuki masa pensiun.  Penguburan terakhir terjadi tahun 1960-an walaupun masih ada penanaman abu jenazah dari keluarga mendiang yang telah dikuburkan lebih dulu.  Banyak batu nisan yang retak, terbelah, dan terbengkalai namun Dewan Kota tak membiarkan rumput dan tanaman tumbuh tinggi dan liar.


Batu nisan di pemakaman ini ternyata sangat beragam, dalam hal bentuk, simbol, maupun aksara dan bahasa.  Sepertinya ini mencerminkan juga agama orang-orang yang dikuburkan.  Sekilas kulihat ada inskripsi dalam aksara atau bahasa Inggris, Jerman, Ibrani, Rusia, dan Arab.  Bahkan simbol-simbol keagamaan seperti salib tidak hanya ada satu jenis seperti yang biasa kita kenal.  Ada satu simbol yang menurut Andrian, salah seorang teman di UQ, adalah Eastern Cross dari Ortodoks Rusia/Yunani dan Katolik Yunani.  Yang khas pada simbol ini adalah garis terbawah dari 3 garis horizontal yang berupa palang miring melambangkan akar atau simbol dari tradisi yang murni.  Menurut cerita dosen Bahasa Rusianya, banyak orang-orang Rusia datang ke Australia namun terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil.  Hmm, kalau saja ada pemandu wisata di pekuburan ini, akan lebih banyak informasi yang bisa kugali tentang keragaman orang-orang yang dikubur di sini.  Pengetahuan-pengetahuan baru seperti inilah yang membuat acara sketching jadi makin menyenangkan karena ada nilai lebih yang bisa kita dapat.

Menjelang tengah hari, para sketser dari Urban Sketchers Brisbane yang tadi menyebar di area pekuburan berkumpul di Fish Kitchen, sebuah kedai fish and chips di seberang kompleks makam.  Sambil melakukan “show and tell”, beberapa orang memesan makan siang.

“Suryadi, why don’t you put an order?  The fish and chips is cheap and delicious.”

Memang betul, fish and chips-nya murah dan kelihatan begitu menggoda.

“No, J-j.  I’m fasting.”

“Fasting? For what reason? Religius or ... something else?”

“Yes, religious reason.  I’m a muslim.”

Selepas Saturday Sketchout di pemakaman yang kadang disebut Dutton Park Cemetery itu, aku tak langsung pulang.  Setelah singgah sana-sini, meluncurlah ke rumah Adi dan Dini di Augustus Street, Toowong sekitar pukul 4 petang untuk memenuhi undangan buka puasa bersama. 

Bukan tanpa sebab Adi dan Dini mengundang kami ke rumahnya.  Menjelang kelahiran anak pertama, mereka pindah dari sebuah apartemen di pusat kota ke sebuah unit rumah di suburb Toowong yang letaknya lebih dekat ke kampus UQ.  Unit baru ini memiliki kamar yang lebih banyak dan ruang keluarga yang lebih luas.  Tambahan lagi, ada balkon yang bisa dipakai untuk berangin-angin. 

Di UQ, Dini dan Adi sama-sama mengambil program studi ilmu komputer, sampai-sampai khalayak mengira kalau mereka berdua ngobrol pasti menggunakan bahasa C# atau php.  Kalau Adi dikenal sebagai pemain multibakat beragam cabang olahraga, Dini terkenal sebagai mahasiswa yang rajin masak.  Sepertinya apa saja bisa dia bikin. Karena itu tidak aneh kalau dapurnya hampir selalu berantakan, hahaha.


Dini dan siomay lezat bikinannya.

Sekitar 17 orang menggeruduk hadir dalam acara bukber Augustus Street ini.  Hidangan utamanya adalah siomay Bandung, ditambah beragam hidangan hasil share plates alias makanan-minuman bawaan para hadirin.  Asiknya sebuah acara buka puasa bersama adalah kita bisa tertawa bersama.  Setelah shalat tarawih berjamaah di sini, kami bermain kartu Uno dan bercanda-canda hingga pukul 9 malam. 

Ngariung sambil main kartu Uno

Aku pulang dengan bus Translink 444 ke Moggill Road sambil menenteng kotak bekal alias food container berisi sisa makanan.  Itu artinya pas sahur dini hari nanti cukup memencet tombol microwave tanpa perlu menyalakan kompor dan memanaskan wajan.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-8 Berbuka puasa di MFC
dalam seri Ramadan Down Under

Tuesday, June 21, 2016

Bukber Angklungers

JUMAT, 19 JUNI 2015
Cerita ke-6 dalam seri Ramadan Down Under

UQISA memiliki sebuah klub angklung yang sering diminta tampil di event-event dalam dan luar kampus.  Lantaran para anggotanya disebut Angklungers, klub ini pun lebih sering dikenal sebagai UQ Angklungers.  Saat kudatang Februari 2015, yang menjadi manajer sekaligus konduktor tetap adalah Nadiya Rahmah.  Tiap Jumat malam Nadiya mengumpulkan kami berlatih angklung, memainkan lagu-lagu Indonesia maupun lagu-lagu populer mancanegara seperti Heal the World milik Michael Jackson dan I Still Call Australia Home, sebuah lagu yang menggambarkan patriotisme dan kerinduan akan kampung halaman.

Sejak pukul 11 pagi, aku dan Nadiya nongkrong di Social Sciences and Humanities Library (SSHL), membuat lukisan wajah sekitar sepuluh orang Angklungers.  Sempat diselingi shalat Jumat di MFC dari pukul 13.15 hingga 14.00, kami membuka-buka album facebook para Angklungers yang hendak digambar, mencari gambar terbaik yang paling pas dituangkan ke atas kertas ukuran A4.

“Kita kayak stalker aja, Nad, buka-buka album orang.”

“Gak apa-apa atuh, ini mah halal, nggak mbatalin puasa.”

Aku kebagian menggambar Angklungers yang sudah kukenal sementara Nadiya menggambar Angklungers senior yang belum pernah kulihat atau baru satu-dua kali kujumpai.  Sementara di luar gedung, Cut Monalisa, awardee LPDP yang mengambil program Applied Languages Science ikut membantu dengan membelikan bingkai-bingkai foto di Daiso, sebuah toko waralaba Jepang di Indooroopilly Shopping Centre.

Eka dan Taruna membantu memindai gambar-gambar yang kemudian mendapatkan sentuhan akhir oleh Nadiya dan Photoshopnya.  Menjelang maghrib semua gambar telah tercetak rapi lalu disisipkan ke dalam tiap-tiap bingkai foto.

Malam harinya, para Angklungers berkumpul di Sendok Garpu Restaurant Indooroopilly di Lambert Road.  Kedai yang kadang kami sebut Senpu ini adalah salah satu rumah makan Indonesia yang cukup populer di Brisbane selain Shalom, Sambal Oelek, Jakarta Restaurant, dan Makanan Indonesia.  Interiornya dibuat cantik dengan ornamen bernuansa Bali.  Sebuah payung khas Bali menghiasi pintu masuk yang dijaga dua arca yang biasa kita temukan di pura-pura pulau Dewata.


Bambang, Angklungers yang segera kembali ke tanah air, mengucapkan salam perpisahan pada Angklungers yang masih bertahan.

Kumpul-kumpul Angklungers ini selain untuk berbuka puasa bersama (bukber) juga sebagai acara perpisahan dengan para Angklungers yang tak lama lagi akan kembali ke tanah air.  Beberapa di antara mereka adalah pasangan suami istri.  Agus dan Devi, Candra dan Sari, Mirza dan Ira, Bambang, Nanda, Nugie, Marion, Riza, dan beberapa orang senior yang belum sempat kukenal dan tidak sempat datang malam itu.


Sebagai simbol apresiasi atas peran serta mereka turut memperkenalkan budaya Indonesia di negeri kanguru ini, UQ Angklungers menyerahkan cendera mata berupa lukisan-lukisan wajah yang pagi tadi kukerjakan bersama Nadiya.



Inilah 4 dari 10 orang Angklungers yang akan kembali ke tanah air: Riza, Bambang, Marion, dan Nanda.

Sekembalinya ke rumah di Moggill Road, aku menyiapkan peralatan sketsa untuk esok di South Brisbane Cemetery.  Sempat buka internet melihat harga kursi lipat seperti yang biasa dipakai beberapa teman di Urban Sketchers Brisbane.  Mahal-mahal ternyata, sementara di Kmart (sebuah toko ritel yang barang-barangnya lumayan murah) ada kursi lipat sederhana seharga $8.  Sepertinya aku akan ke Kmart saja nanti.

Capcay Sendok Garpu mulai meninggalkan lambung ketika aku berangkat tidur malam itu.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-7 Berbuka puasa di Augustus Street
dalam seri Ramadan Down Under

Sunday, June 19, 2016

Shalat tarawih di UQ

KAMIS, 18 JUNI 2015
Cerita ke-5 dalam seri Ramadan Down Under

Multifaith Prayer Space yang merupakan bagian dari Multifaith Chaplaincy Centre (MFC) merupakan tempat terdekat dari rumahku untuk shalat tarawih, sekitar 6 km.  Tidak hanya mahasiswa muslim UQ, banyak pula warga muslim sekitar St. Lucia yang shalat di sana.  Tampak sekali keragaman jamaah yang kusaksikan.

Jamaah tarawih di UQ MFC

Pulang tarawih, aku ketemu Nadiya, seorang jamaah asal Indonesia.  Ia adalah mahasiswa jurusan arsitektur yang menjabat sebagai Sekretaris UQISA (The University of Queensland’s Indonesian Students Association) dan manajer klub angklung yang disebut Angklungers.  Mojang Priangan ini pernah datang dan ikut Urban Sketchers Brisbane’s sketchout di King Edward Park bulan Mei lalu.

“Kasur, inget besok ya.”

“Apaan?”

“Yah, lupa lagi. Kita nyekets bareng buat Angklungers yang mau pulang.  Semester ini kan banyak yang back for good.”

“Harus besok nih?”

“Iya lah, kudu diberesin besok.  Kan malemnya mau kita kasihin pas bukber di Senpu.”

“Oh, ok.”

Nyekets yang dimaksud Nadiya adalah membuat sketsa wajah para pemain angklung yang hendak pulang ke Indonesia setelah menamatkan semester terakhirnya musim ini.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-6 Bukber Angklungers
dalam seri Ramadan Down Under

Berpuasa di musim dingin

KAMIS, 18 JUNI 2015
Cerita ke-4 dalam seri Ramadan Down Under

Perkuliahan semester pertamaku di UQ sudah berakhir di awal-awal Juni. Kelas terakhir tamat tanggal 3 Juni dan tugas-tugas sudah dikumpulkan 15 Juni. 

Aku sendiri lupa hari pertama puasa di Brisbane melakukan apa saja.  Yang jelas berpuasa di sini tidak seberat di Jakarta karena tahun Ramadan 2015 ini belahan bumi selatan bertepatan dengan musim dingin.  Waktu Subuh masuk pukul 05.09 dan maghrib pukul 17.02.  Dengan demikian masa berpuasa hanya dua belas jam saja sementara kaum muslimin di Jakarta berpuasa hampir tiga belas setengah jam.  Sulit lagi membayangkan perjuangan saudara-saudara kita yang berpuasa di musim panas di belahan bumi utara, 19 jam.  Pada gilirannya nanti, Brisbane pun akan kebagian bulan puasa di musim panas karena setiap tahun permulaan puasa bergeser maju sekitar 11 atau 12 hari.

Buka puasa di rumah pun tak perlu macam-macam.  Segelas teh manis sudah cukup menghilangkan rasa haus seharian penuh. 



Nasi, sayur sop, dan teh manis panas sudah cukup untuk berbuka puasa dengan kenyang.

Tadinya aku ingin beli kurma di Woolworths atau Coles namun harganya lumayan mahal.  Wajar saja sih lantaran itu kurma impor.  Yang murah di kedua pasar swalayan itu adalah hasil pertanian lokal Australia sendiri.  Pada kemasan produk-produk dalam negeri dengan bangga mereka cantumkan tulisan sebagai buatan Australia, ditanam di Australia, atau diproduksi oleh perusahaan yang dimiliki oleh warga Australia.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-5 Shalat tarawih di UQ
dalam seri Ramadan Down Under

Sahur perdana

KAMIS, 18 JUNI 2015
Cerita ke-3 dalam seri Ramadan Down Under

Alarm ponsel Nokia jadul berteriak, “It’s time to get up.  The time is three thirty.  It’s time to get up.  The time is three thirty.”

Sengaja aku aktifkan alarm menggunakan ponsel Nokia karena suaranya lebih nyaring daripada alarm pada Sony Xperia yang merdu mendayu-dayu, malah bikin tidur makin nyenyak.

Tidak seperti di Jakarta dan tempat-tempat lain di Indonesia yang selalu riuh tiap kali waktu sahur (makan pada dini hari sebelum puasa) tiba, di Brisbane kami harus membangunkan diri sendiri.  Tak ada suara tiang listrik dipukul pak hansip atau teriakan marbut (penjaga dan pengurus mesjid) membangunkan warga untuk bangun sahur.

Kubuka kulkas kecil di kamar.  Masih ada beberapa sosis yang beberapa hari sebelumnya kubeli di Ismail’s Halal Discount Butcher.  Sosis yang aromanya agak aneh.  Katanya sosis sapi tapi kalau dipanaskan baunya menyengat seperti daging kambing. 

Kulihat Faiq, teman sekamarku, baru saja duduk di tepi tempat tidurnya.  Sepertinya ia tengah mengumpulkan nyawa sebelum betul-betul bangkit.




Masak untuk makan sahur



Dinihari itu dapur sepi sekali, masih pukul 4, satu jam menjelang subuh.  Udara sedang dingin-dinginnya.  Senyap sekali.  Semua satwa bersembunyi dalam istananya masing-masing.

Tak mau ribet atau repot, sosis goreng nampaknya cukuplah menemani hari pertama puasa ini.  Bisa saja sih sebenarnya kalau mau bikin Indomie.  Mi instan kebanggaan Indonesia itu sudah merambah Coles and Woolworths, dua pasar swalayan terbesar di Australia.

Ketika sosis mengeluarkan aroma khasnya, datanglah Rasyid, penghuni kamar 12 yang berada di lantai 2 student accommodation ini.  Ia adalah alumni S1 Metalurgi ITB yang melanjutkan studi M.Phil. pertambangan dengan beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan).

Rasyid menghangatkan sesuatu ke dalam microwave, sepertinya terong balado.  Walaupun lahir di Jakarta, tinggal di Serang, dan kuliah S1 di Bandung tapi darahnya masih Minang, suka makanan pedas seperti terong balado itu.

Ketika aku kembali ke kamar sambil membawa sosis panas, Faiq sudah pindah di mejanya, menghadapi laptop.  Ia memang sangat rajin belajar, tidak sepertiku yang lebih sering wara-wiri tidak karuan.

“Lu nggak masak buat sahur, Iq?”

“Nggak, Kasur. Gua masih ada kentang sama buah.”

Faiq betul-betul menghayati dan mengamalkan ilmu keuangannya selama di Brisbane.  Apa yang bisa dihemat, ia hemat.  Ketika kentang sudah cukup menggantikan nasi dan lauk, ia beli kentang.  Ketika harga buah kena diskon, ia akan buru itu buah dan beli beberapa kilogram.  Aku yang notabene seorang akuntan merasa gagal menerapkan ilmu keuangan dalam hal ini; akuntan tapi seperti tak peduli pada perencanaan keuangan, opportunity costs, dan analisis cost-and-benefit.

Pagi yang dingin itu, suara adzan tidak datang dari mesjid dan musala namun dari ponsel Android Faiq.  Aku, Rasyid, dan Faiq shalat subuh bersama di kamar kami.


BERSAMBUNG ke Cerita ke-4 Berpuasa di musim dingin
dalam seri Ramadan Down Under

Selamat datang, Ramadan!

RABU, 17 JUNI 2015
Cerita ke-2 dalam Ramadan Down Under

Sebagai negara beriklim subtropis, Australia memiliki empat musim.  Berkebalikan dengan negara-negara di belahan bumi utara, negeri tetangga kita ini memasuki musim dingin pada bulan Juni. Hingga Agustus, walaupun suhu udara terendah sekitar 5 derajat celsius, namun angin kencang sering menyapu hari-hari yang dingin sehingga yang terasa di kulit (aplikasi AccuWeather menyebutnya “RealFeel”) bisa jatuh beberapa derajat di bawah itu.

Sore itu dengan jaket tebal dari DFO (Direct Factory Outlets) Bandara Brisbane, aku tiba di kampus UQ St. Lucia.  Walaupun begitu tetap saja kudapati beberapa orang masih nyaman berpakaian tipis, lengan pendek, atau celana pendek.  Mereka masih bisa menahan sejuknya udara musim dingin.

Pukul 17.30, ratusan mahasiswa telah menggerombol di muka Connell Building.  Gedung yang sehari-hari digunakan sebagai gymnasium itu, kali itu difungsikan sebagai tempat ujian.  Meja-meja dan kursi peserta ujian telah diatur untuk ujian dua mata kuliah, Strategic Human Resource Management dan sebuah mata kuliah engineering.  Tepat pukul 17.45, ruangan mendadak hening.  Ujian dimulai.

Suasana ujian di Connell Building

Dua jam para mahasiswa berkutat dengan soal-soal studi kasus dan esai pendek.  Sementara di luar sana, teman-teman sedang menahan napas menunggu keputusan para ulama se-Australia mengenai penetapan tanggal 1 Ramadan.  Seperti Indonesia, dewan ulama itu menggunakan metode rukyat (moonsighting) untuk menentukan awal bulan.  Seminggu sebelumnya, twitter @MoonsightingAUS berkicau,

“Insha’Allah moonsighting for the month of Ramadan 1436 will be conducted on Wednesday 17/06/2015, right across Australia.”

Pukul 19.45 mahasiswa berhamburan keluar dari Connell Building.  Aku bergegas menuju Multifaith Prayer Space, sebuah aula yang digunakan untuk shalat termasuk shalat Jumat dan tarawih.  Kami biasa menyebutnya musala, surau, atau MFC karena merupakan bagian dari Multifaith Chaplaincy Centre (MFC). 

Untuk dapat masuk musala, mahasiswa harus mendapatkan otorisasi dari pihak kampus dengan mendaftarkan kartu mahasiswanya ke Student Service.  Dengan menempelkan kartu itu ke mesin akses, pintu musala baru dapat dibuka.

Aku dan Brother Ismail di depan MFC



Di pintu masuk MFC aku berpapasan dengan Ismail, pengurus musala.  Kami menyebut lelaki asal Zimbabwe ini “Brother Ismail”.  Sebutan “Brother” atau “Sister” adalah lazim dalam Islam untuk memanggil sesama muslim karena sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW, sesama muslim adalah bersaudara.

“Assalamu’alaikum,” sapaku.

Lelaki berjenggot lebat itu menjawab dengan senyum ramahnya, “Wa’alaikum salam, Brother.”

“Are we going to start fasting tomorrow?”

“Yes, Inshaa Allah, and tonight we’ll pray tarawih.”

“Alhamdulillah, but I missed the pray I guess.”

“No, in this first night we’ll start the pray at 8.  Tomorrow and afterwards we start at 7.”

Maka kegembiraan kaum muslimin menyambut Ramadan pun bermula.

BERSAMBUNG ke Cerita ke-3 Sahur perdana
dalam seri Ramadan Down Under



Ramadan Down Under - Prolog

Cerita pertama dalam seri Ramadan Down Under

“Iq, jadi nggak lu beli sepeda buat bolak-balik kampus?”
“Nanti ajalah, Kasur.  Gua pikir-pikir dulu.  Lu sendiri gimana?”
“Tadinya sih pengen beli.  Tapi ngeliat jalannya naik turun gini, capek juga kayaknya kalau harus nyepeda ke kampus.  Naik bus ajalah.”

The Wheel of Brisbane

Brisbane adalah kota terbesar ketiga di Australia dan menjadi pusat pemerintahan negara bagian Queensland.  Kota ini dibangun di tanah berbukit yang dibelah oleh Sungai Brisbane dalam naungan cuaca subtropis yang tak terlalu ekstrem.  Dari populasinya yang sebanyak dua juta jiwa, sepertiganya lahir di luar Australia, sehingga terbentuklah kota multikultur yang nyaman dihuni.

Salah satu bentuk keragaman di Brisbane (dan Australia pada umumnya) adalah beragamnya agama dan kepercayaan, mulai dari Kristen (Katolik Roma, Anglikan, dan lainnya), Buddha, Islam, Hindu, dan agama lain, termasuk mereka yang memilih untuk tak memeluk agama.

Komunitas muslim di Brisbane berjumlah lebih dari 10.000 orang yang umumnya tinggal di bagian selatan kota ini.  Mereka datang dari beragam tempat, seperti Asia (Barat, Tengah, Selatan, dan Tenggara), Afrika, dan Eropa Timur.  Beberapa organisasi keislaman didirikan di Buranda, Sunnybank Hills, Kuraby, Brendale, Inala, Lutwyche, dan West End.

Orang-orang Islam yang berasal dari Indonesia, baik yang berstatus permanent residents (PR) maupun mahasiswa banyak berhimpun di bawah perkumpulan seperti Indonesian Islamic Society of Brisbane (IISB) dan Indonesian Muslim Center of Queensland (IMCQ).

IISB memfasilitasi kegiatan dakwah, sedekah, Ramadan, hingga aktivitas rekreasional, sementara IMCQ bercita-cita membangun sebuah Islamic Center sebagai tempat belajar Islam bagi masyarakat Queensland.

Forgan Smith Building adalah gedung utama di University of Queensland yang namanya diambil dari nama Premier (semacam perdana menteri) negara bagian Queensland masa jabatan 1932 hingga 1942, William Forgan Smith.

Tujuh kilometer dari pusat kota, di sebuah suburb bernama St Lucia, berdiri satu dari empat kampus utama The University of Queensland (UQ) di mana aku dan teman-teman dari segala penjuru dunia menimba ilmu.  Kampus yang memiliki dua buah danau ini dibangun di atas tanah seluas 114 hektar di tepi sungai Brisbane.  UQ merupakan universitas tertua di negara bagian Queensland yang pada awalnya di tahun 1910 berlokasi di pusat kota yakni Old Government House, George Street.  Hingga kini, universitas ini selalu berada dalam ranking 100 teratas dunia.

Selain warga negara Australia sendiri, civitas akademika UQ terhitung sangat majemuk.  Mahasiswa internasional yang belajar di sini mencapai 11.000 orang dari 140 negara.  Tiga pemasok terbesar adalah China, Singapura, dan Malaysia.

Sebagaimana normalnya kehidupan mahasiswa yang penuh suka duka, banyak hal yang ingin kuceritakan.  Namun kali ini kuangkat saja secuplik kisah Ramadan yang aku lalui bersama teman-teman di tahun 2015.  Sebagian ceritaku mungkin tidak persis sama dengan kejadian sebenarnya karena faktor ingatan atau memang sengaja dimodifikasi tanpa mengubah inti cerita.  Jadi, maklumi saja :)


BERSAMBUNG ke Cerita ke-2 Selamat datang, Ramadan!
Dalam seri Ramadan Down Under

Ramadan Down Under

RAMADAN DOWN UNDER
Ramadanku di kota Brisbane

  1. Prolog
  2. Selamat datang, Ramadan!
  3. Sahur perdana
  4. Berpuasa di musim dingin
  5. Shalat tarawih di UQ
  6. Bukber Angklungers
  7. Berbuka puasa di Augustus Street
  8. Berbuka puasa di MFC
  9. Big Iftar dan Ramadan Under Stars
  10. Soto Betawi di bukber IISB
  11. Mesjid Al Farooq dan Darra
  12. Bukber GantiNamo
  13. Mesjid Darul Uloom, Holland Park, dan Gold Coast
  14. Migrasi bukber MFC
  15. Sate kambing dan ketupat instan
  16. Mengejar shalat id
  17. Epilog
Cerita dan ilustrasi: Suryadi van Batavia
Hak cipta ©2016 Suryadi van Batavia.

Terima kasih kepada teman-teman yang memberikan foto referensi (baik secara langsung mengirimkannya pada saya maupun yang dulu pernah posting di grup WhatsApp) dan yang menyampaikan beberapa informasi mengenai hal-hal yang saya ceritakan di seri tulisan ini.

Foto referensi: Citra Widya Kusuma, Dini Lestari Susliawan, Eka Yudiarto, Nadiya Rahmah, Nendar Herdianto, Angklungers, UQ GantiNamo 2015

Narasumber: Andrian Liem, Anita Ratna Dewi, Aruni Yasmin Azizah, Cut Monalisa, Muhammad Abdur Rasyid, Nadiya Rahmah.