Sunday, June 19, 2016

Sahur perdana

KAMIS, 18 JUNI 2015
Cerita ke-3 dalam seri Ramadan Down Under

Alarm ponsel Nokia jadul berteriak, “It’s time to get up.  The time is three thirty.  It’s time to get up.  The time is three thirty.”

Sengaja aku aktifkan alarm menggunakan ponsel Nokia karena suaranya lebih nyaring daripada alarm pada Sony Xperia yang merdu mendayu-dayu, malah bikin tidur makin nyenyak.

Tidak seperti di Jakarta dan tempat-tempat lain di Indonesia yang selalu riuh tiap kali waktu sahur (makan pada dini hari sebelum puasa) tiba, di Brisbane kami harus membangunkan diri sendiri.  Tak ada suara tiang listrik dipukul pak hansip atau teriakan marbut (penjaga dan pengurus mesjid) membangunkan warga untuk bangun sahur.

Kubuka kulkas kecil di kamar.  Masih ada beberapa sosis yang beberapa hari sebelumnya kubeli di Ismail’s Halal Discount Butcher.  Sosis yang aromanya agak aneh.  Katanya sosis sapi tapi kalau dipanaskan baunya menyengat seperti daging kambing. 

Kulihat Faiq, teman sekamarku, baru saja duduk di tepi tempat tidurnya.  Sepertinya ia tengah mengumpulkan nyawa sebelum betul-betul bangkit.




Masak untuk makan sahur



Dinihari itu dapur sepi sekali, masih pukul 4, satu jam menjelang subuh.  Udara sedang dingin-dinginnya.  Senyap sekali.  Semua satwa bersembunyi dalam istananya masing-masing.

Tak mau ribet atau repot, sosis goreng nampaknya cukuplah menemani hari pertama puasa ini.  Bisa saja sih sebenarnya kalau mau bikin Indomie.  Mi instan kebanggaan Indonesia itu sudah merambah Coles and Woolworths, dua pasar swalayan terbesar di Australia.

Ketika sosis mengeluarkan aroma khasnya, datanglah Rasyid, penghuni kamar 12 yang berada di lantai 2 student accommodation ini.  Ia adalah alumni S1 Metalurgi ITB yang melanjutkan studi M.Phil. pertambangan dengan beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan).

Rasyid menghangatkan sesuatu ke dalam microwave, sepertinya terong balado.  Walaupun lahir di Jakarta, tinggal di Serang, dan kuliah S1 di Bandung tapi darahnya masih Minang, suka makanan pedas seperti terong balado itu.

Ketika aku kembali ke kamar sambil membawa sosis panas, Faiq sudah pindah di mejanya, menghadapi laptop.  Ia memang sangat rajin belajar, tidak sepertiku yang lebih sering wara-wiri tidak karuan.

“Lu nggak masak buat sahur, Iq?”

“Nggak, Kasur. Gua masih ada kentang sama buah.”

Faiq betul-betul menghayati dan mengamalkan ilmu keuangannya selama di Brisbane.  Apa yang bisa dihemat, ia hemat.  Ketika kentang sudah cukup menggantikan nasi dan lauk, ia beli kentang.  Ketika harga buah kena diskon, ia akan buru itu buah dan beli beberapa kilogram.  Aku yang notabene seorang akuntan merasa gagal menerapkan ilmu keuangan dalam hal ini; akuntan tapi seperti tak peduli pada perencanaan keuangan, opportunity costs, dan analisis cost-and-benefit.

Pagi yang dingin itu, suara adzan tidak datang dari mesjid dan musala namun dari ponsel Android Faiq.  Aku, Rasyid, dan Faiq shalat subuh bersama di kamar kami.


BERSAMBUNG ke Cerita ke-4 Berpuasa di musim dingin
dalam seri Ramadan Down Under

No comments: